Kaltim, Global-satu.com β Rencana Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim) mengalokasikan anggaran Rp1,7 miliar untuk menggandeng influencer dalam promosi pariwisata menuai sorotan.
Angka Rp1,7 miliar yang digelontorkan Pemprov Kaltim untuk influencer dinilai mengundang tanda tanya. Bukan hanya soal besar-kecilnya anggaran, tetapi juga menyangkut logika dan rasa keadilan.
Ekonom Universitas Mulawarman (Unmul), Purwadi Purwoharsodjo, menilai penggunaan dana publik dalam jumlah besar untuk program tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar terkait efektivitas dan efisiensi.
βDi tengah tuntutan efisiensi, apakah tidak boros jika publikasi justru diserahkan kepada pihak luar seperti influencer?β ucap Purwadi via sambungan telepon WhatsApp, Kamis (18/09/2025).
Lebih jauh, ia menekankan pentingnya transparansi. Masyarakat, kata Purwadi, berhak tahu siapa influencer yang ditunjuk, berapa anggaran yang diterima masing-masing, serta mekanisme yang digunakan dalam proses pemilihan. Ia juga menegaskan perlunya indikator keberhasilan yang jelas dan terukur.
Apalagi total pagu tercatat sebesar Rp1,9 miliar. Dari jumlah tersebut, Rp1,7 miliar dialokasikan khusus untuk jasa publikasi influencer. Sementara pengembangan desa wisata hanya mendapat Rp250 juta, dan pengembangan wisata di Desa Semayang Rp9 juta. Artinya, lebih dari 85 persen anggaran dialokasikan untuk influencer, sementara porsi untuk pemberdayaan langsung masyarakat desa jauh lebih kecil.
Purwadi menilai kontras ini patut dipertanyakan. Ia menyebut desa wisata memiliki peran vital dalam menggerakkan ekonomi lokal, membuka lapangan kerja, dan memperkuat basis pariwisata yang berkelanjutan. Namun, jika desa hanya mendapat anggaran kecil sementara influencer digelontorkan miliaran rupiah, arah kebijakan menjadi timpang.
βAnggaran untuk influencer begitu besar, sementara desa wisata yang menjadi tulang punggung pariwisata daerah justru mendapat alokasi sangat kecil. Kalau seperti ini, apa benar prioritasnya untuk membangun pariwisata secara berkelanjutan?β tegasnya.
Dalam situasi tersebut, pengeluaran miliaran rupiah untuk influencer bisa menimbulkan persepsi publik bahwa pemerintah lebih mementingkan pencitraan ketimbang kebutuhan dasar masyarakat.
βKalau hasilnya tidak jelas, masyarakat akan melihat ini sebagai bentuk pemborosan. Transparansi dan akuntabilitas adalah hal yang harus ditunjukkan pemerintah. Tanpa itu, justru akan lahir ketidakpercayaan,β ujarnya.
Indra/rdk