banner 728x250.

Kelangkaan Pasir dan Koral di Berau: Antara Sentralisasi Izin dan Dampak Ekonomi Masyarakat

banner 728x250. banner 728x250.
Dilihat: 470.127 kali

BERAU, Global-satu.com – Bumi Batiwakkal tengah menghadapi tantangan serius dalam pembangunan infrastruktur. Kelangkaan material penting seperti pasir dan koral semakin dirasakan dampaknya, mulai dari terganggunya proyek-proyek konstruksi hingga melonjaknya harga bahan bangunan. Di balik kondisi ini, tersembunyi persoalan kebijakan tata kelola sumber daya alam yang dinilai kurang berpihak pada daerah.

Ketua Asosiasi Pekerja Pasir dan Koral Berau, Fery Hayadi, mengungkapkan harapan besar kepada Pemerintah Kabupaten Berau untuk turut memfasilitasi kemudahan pengurusan izin bagi para pekerja di sektor tersebut.

β€œKami kesulitan menjalankan kegiatan karena terganjal aturan. Padahal permintaan pasir, baik untuk proyek pemerintah maupun pembangunan masyarakat, tetap tinggi,” ujar Fery Bahagia, sapaan akrabnya.

Fery menyebut bahwa sebagian besar anggotanya telah tergabung dalam badan usaha dan koperasi. Namun hingga kini, mereka belum dapat beroperasi secara legal karena belum mengantongi izin pertambangan galian C.

Ia menegaskan, pihaknya tidak semata-mata mencari keuntungan, melainkan ingin berkontribusi terhadap pembangunan daerah. Salah satunya melalui pembayaran pajak dan retribusi dari hasil penjualan pasir yang dikelola oleh para anggota asosiasi.

β€œKami ingin ikut membangun daerah, bayar pajak juga. Tapi tolong permudah jalannya,” tegasnya.

Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik Kalimantan Timur yang juga Dosen FISIPOL Universitas Mulawarman (Unmul), Saipul, menjelaskan bahwa masalah kelangkaan ini erat kaitannya dengan perubahan regulasi pasca revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Revisi tersebut mengalihkan kewenangan pemberian izin tambang, termasuk galian C, dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat.

“Sejak kewenangan penambangan ditarik ke pusat, daerah seperti Berau kehilangan akses untuk mengatur dan mengelola sumber daya alam mereka. Padahal sebelumnya, daerah masih memiliki diskresi untuk memberikan izin operasional, meski terbatas,” jelasnya.

Ia menambahkan, diskresi yang sempat dilakukan antara tahun 2018 hingga 2021 memungkinkan penambangan berlangsung dengan biaya lebih murah, meskipun menimbulkan risiko terhadap aspek lingkungan. Kini, dengan sistem sentralisasi, masyarakat dan kontraktor lokal terpaksa menunggu keputusan dari pemerintah pusat, yang dinilai lamban dan kurang kontekstual.

β€œDampaknya nyata. Proyek jalan, rumah, dan fasilitas publik lainnya terganggu karena pasir susah didapat dan harganya naik. Padahal ini kebutuhan dasar,” tambah Saipul.

Kritik juga disampaikan terhadap kebijakan sentralisasi yang tidak diimbangi dengan mekanisme tanggung jawab sosial dan lingkungan dari pemerintah pusat. Ia menilai pengambilalihan kewenangan tidak disertai kompensasi yang adil bagi masyarakat daerah yang terdampak langsung.

“Sentralisasi ini membuat daerah seperti penonton. Sumber daya mereka diambil, tapi pendapatannya masuk ke pusat. Ketika terjadi kerusakan lingkungan, masyarakat lokal yang harus menanggung. Ini jelas tidak adil,” ungkapnya.

Saipul juga menyoroti ketimpangan perlakuan antara masyarakat dan perusahaan besar.

β€œKetika masyarakat lokal mengambil kayu ulin ditangkap, sementara perusahaan besar bebas membabat hutan,” katanya prihatin.

Pengamat Ekonomi Universitas Mulawarman, Purwadi Purwoharsojo, turut memperkuat pandangan tersebut. Menurutnya, kelangkaan pasir dan koral tidak hanya berdampak pada konstruksi, tetapi juga langsung memengaruhi daya beli masyarakat dan kelangsungan usaha kecil.

“Pasir itu bukan hanya material, tapi sumber penghidupan. Ketika aktivitas ini dilarang, otomatis masyarakat kehilangan pendapatan. Harga naik, proyek terhambat, dan kualitas pembangunan pun ikut terdampak,” jelas Purwadi.

Ia juga mengingatkan risiko jangka panjang dari penurunan kualitas bangunan akibat naiknya harga material. Menurutnya, kontraktor bisa saja menekan biaya dengan mengurangi kualitas bahan bangunan.

β€œIni sangat berbahaya. Bangunan bisa roboh, jalan cepat rusak. Ujung-ujungnya, rakyat juga yang menanggung akibatnya.”

Purwadi menambahkan, ketidakseimbangan antara aspek ekonomi dan ekologi menjadi masalah utama. Penambangan di sungai memang dianggap ilegal oleh regulasi pusat, namun kenyataannya, sungai menjadi satu-satunya sumber pasir yang dapat diakses oleh masyarakat.

β€œLarangan penuh tanpa solusi konkret justru menimbulkan dampak domino yang lebih besar,” ujarnya.

Baik Saipul maupun Purwadi sepakat bahwa perlu ada solusi komprehensif. Saipul mengusulkan agar pemerintah daerah di Kalimantan bersatu untuk mendorong revisi Undang-Undang Pertambangan yang lebih akomodatif terhadap kebutuhan masyarakat lokal.

β€œPemerintah kabupaten/kota harus aktif mengajukan masukan. Ini bukan soal politik, tapi soal kebutuhan rakyat,” tegasnya.

Keduanya menyimpulkan bahwa jika persoalan ini terus dibiarkan berlarut-larut, dampaknya akan sistemik. Mulai dari keterlambatan proyek pemerintah, inflasi biaya pembangunan, hilangnya sumber penghidupan masyarakat, hingga potensi kerusakan lingkungan akibat penambangan ilegal.

“Yang kita butuhkan adalah kebijakan yang berpihak, fleksibel, tapi tetap bertanggung jawab. Jangan sampai rakyat jadi korban atas nama regulasi,” pungkas Purwadi.

Sementara itu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Berau menyatakan telah memberikan perhatian serius terhadap kelangkaan material pasir dan koral yang dikeluhkan masyarakat. Bupati Berau, Sri Juniarsih Mas, menyebut pihaknya telah melakukan koordinasi intensif dengan instansi terkait, termasuk melalui Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Berau.

Bupati menegaskan bahwa Pemkab tidak tinggal diam. Sejumlah langkah strategis tengah disiapkan untuk membantu pelaku usaha galian C memperoleh legalitas. Salah satunya adalah pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) khusus yang bertugas mempercepat proses legalisasi aktivitas penambangan pasir dan koral guna memenuhi kebutuhan masyarakat serta mendukung kelancaran pembangunan daerah.

β€œKewenangan memang tidak lagi di kabupaten, tapi kami berkomitmen membantu mempercepat proses perizinannya,” ujar Sri Juniarsih.

Indra/Rdk
Global-satu.com